Pernahkah kita memaafkan seseorang, tetapi masih menyisakan ganjalan di hati? Namun tidak demikian dengan Allah ‘azza wa jalla—Dia adalah al-‘Afwu, Dzat yang Maha Menghapus dosa seolah tak pernah terjadi.
Apa itu Al-‘Afwu?
Al-‘Afwu (ٱلْعَفُوُّ) merupakan salah satu dari nama-nama Allah yang agung. Artinya: Allah bukan sekadar memaafkan, tetapi menghapus dosa-dosa hingga tak menyisakan bekasnya.
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah menjelaskan bahwa Allah adalah Dzat yang tidak henti-hentinya memberi ampunan dan tidak langsung menghukum hamba-Nya, selama mereka tidak menyekutukan-Nya.
Imam as-Sa‘di rahimahullah menyebut bahwa setiap hamba sangat membutuhkan ampunan Allah sebagaimana mereka butuh rahmat-Nya. Karena itu Allah menyebut:
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى
“Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi siapa saja yang bertobat, beriman, beramal shalih, dan kemudian tetap di jalan yang benar.” (QS. Thaha: 82)
al-‘Afwu dalam Al-Qur’an
Nama Allah al-‘Afwu disebut dalam Al-Qur’an sebanyak enam kali, dan sering digandengkan dengan nama Allah al-Ghafur. Ini menunjukkan bahwa ampunan-Nya mencakup penghapusan dosa dan juga pengampunan siksaannya.
Contoh ayat:
﴿إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا﴾ (QS. An-Nisa: 43)
“Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
﴿فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا﴾ (QS. An-Nisa: 149)
“Sesungguhnya Allah adalah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.”
﴿وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا…﴾ (QS. At-Taghabun: 14)
“Jika kalian memaafkan, membiarkan, dan mengampuni, maka Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Doa dengan Nama Allah al-‘Afwu
Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ:
“Wahai Rasulullah, jika aku bertemu malam Lailatul Qadar, doa apa yang harus aku baca?”
Beliau menjawab:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan mencintai pemaafan, maka maafkanlah aku.” (HR. Tirmidzi)
Doa ini bukan hanya untuk Lailatul Qadar, tetapi bisa menjadi wirid harian kita. Karena tidak ada satu manusia pun yang tidak membutuhkan ampunan dari Allah al-‘Afwu.
al-‘Afwu Lebih dari Sekadar Memaafkan
Para ulama memberi definisi mendalam tentang al-‘Afwu:
- Az-Zajjaj: “Allah adalah Dzat yang memaafkan dosa dan meninggalkan hukuman atasnya.”
- Al-Khaththabi: “al-‘Afwu adalah memaafkan dosa tanpa membalasnya.”
- Al-Halimi: “Allah menggugurkan akibat dosa-dosa hamba-Nya. Bahkan bisa jadi Allah hapus karena tobat, amal baik yang lebih besar, atau karena syafaat.”
Sementara Ibnul Qayyim menggambarkan bahwa al-‘Afwu adalah bentuk kasih sayang yang sempurna. Allah bisa saja menghukum, tetapi memilih untuk tidak melakukannya, bahkan menghapus dosa hingga tak terlihat.
Apa Bedanya al-‘Afwu dan ash-Shafh?
Dalam Al-Qur’an, Allah tidak hanya menyebut sifat al-‘Afwu (memaafkan), tetapi juga ash-Shafh (membiarkan atau melupakan). Keduanya sering digandengkan, misalnya dalam firman-Nya:
﴿فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ﴾
“Maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ma’idah: 13)
﴿فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ﴾
“Maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 109)
Para ulama menjelaskan bahwa al-‘afwu adalah menghapus kesalahan dan tidak menuntut balasan, sedangkan ash-shafh lebih tinggi lagi, yakni melupakan kesalahan dan tidak lagi mengungkitnya, seakan-akan tidak pernah terjadi.
Karena itu, Allah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam:
﴿فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ﴾
“Maafkanlah dengan pemaafan yang indah.” (QS. Al-Hijr: 85)
Ash-shafh bukan sekadar memaafkan, tetapi menyambut dengan dada lapang dan hati bersih. Tak ada sindiran, tak ada celaan, tak ada ganjalan. Luar biasa, bukan?
Kombinasi Sempurna: Memaafkan, Melupakan, dan Mengampuni
Bahkan dalam ayat lain, Allah menggabungkan tiga sikap mulia: al-‘afwu, ash-shafh, dan al-maghfirah (pengampunan):
﴿وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾
“Jika kalian memaafkan, membiarkan, dan mengampuni, maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun: 14)
Ada pula ayat yang mengaitkan maaf dengan perbaikan dan kebaikan:
﴿فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ﴾
“Siapa yang memaafkan dan memperbaiki, maka pahalanya di sisi Allah.” (QS. Asy-Syura: 40)
Dan tak kalah indahnya, Allah menyebut bahwa memaafkan dan menahan amarah adalah ciri orang bertakwa:
﴿وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ﴾
“…dan orang-orang yang menahan amarah serta memaafkan manusia. Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ali ‘Imran: 134)
Apakah Memaafkan Harus Melupakan?
Banyak orang berkata, “Aku bisa memaafkan, tetapi sulit melupakan.” Kalimat ini sering terdengar bijak, tetapi mari kita kaji lebih dalam—apakah ini sesuai dengan semangat al-‘afwu dan ash-shafh dalam Islam?
Dalam Islam, memaafkan bukan sekadar tidak membalas, tetapi juga membersihkan hati dari dendam. Allah tidak hanya memerintahkan al-‘afwu (memaafkan), tetapi juga ash-shafh (melupakan, membiarkan, tak mengungkit lagi).
Artinya, memaafkan yang sempurna bukan sekadar lisan berkata, “Aku maafkan,” tetapi hati juga ikut ikhlas, tidak menyimpan amarah dan tidak terus mengungkit luka lama.
Namun perlu dipahami juga:
- Melupakan dalam konteks ini bukan berarti hilang dari ingatan seperti file yang terhapus, melainkan tidak lagi diingat dengan perasaan sakit atau niat membalas. Bahkan jika kita masih teringat kejadian buruk itu, tetapi sudah tidak menyimpan dendam—maka itulah bentuk ash-shafh yang diperintahkan.
Seperti Allah Ta‘ala berfirman:
﴿فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ﴾
“Maafkanlah dengan pemaafan yang indah.” (QS. Al-Hijr: 85)
Dalam QS. At-Taghabun: 14, Allah menyebut tiga sikap sekaligus:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ مِنْ أَزْوَٰجِكُمْ وَأَوْلَٰدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَٱحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا۟ وَتَصْفَحُوا۟ وَتَغْفِرُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun: 14)
Imam al-Baidhawi menjelaskan maknanya:
- “al-‘Afwu: memaafkan dengan tidak menghukum.
- ash-Shafh: berpaling tanpa mencela.
- al-Maghfirah: menutupi kesalahan dan mempersiapkan penerimaan.” (Tafsir al-Baidhawi, 5/219)
Syaikh ath-Thahir bin ‘Ashur juga menjelaskan:
- “al-‘Afwu adalah meninggalkan hukuman atas dosa walau sudah siap menjatuhkan hukuman, bahkan jika tetap disertai teguran.
- ash-Shafh adalah berpaling dari pelaku dosa tanpa celaan.
- al-Maghfirah adalah menutupi dosa dan tidak menyebarkannya.”
“Ketiganya disebutkan bersamaan sebagai isyarat adanya tingkatan-tingkatan sikap pemaaf sesuai kadar kezaliman dan pengaruhnya.” (Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, 28/285)
Dalam Tafsir al-Wasith dari Majma‘ al-Buhuts:
- “(وَإِنْ تَعْفُوا): artinya memaafkan kesalahan yang layak dimaafkan, baik dalam urusan dunia (seperti harta) maupun agama (seperti sikap buruk).
- (وَتَصْفَحُوا): artinya tidak mengungkit lagi dan tidak mencela kesalahan tersebut.
- (وَتَغْفِرُوا): artinya menutupi kesalahan itu dan membantu orang tersebut agar tidak terjerumus lagi.”
(Tafsir al-Wasith, 10/1453)
Jadi, memaafkan tetapi terus menyindir atau menyinggung kejadian itu—itu bukanlah maaf yang sempurna.
Catatan berharga #01
Islam tidak hanya mengajarkan untuk memaafkan, namun juga membimbing kita kepada bentuk pemaafan yang lebih luhur. Ulama seperti ath-Thahir bin ‘Ashur rahimahullah menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an, terdapat tiga istilah yang menunjukkan tingkatan pemaafan, yaitu al-‘afwu, ash-shafh, dan al-maghfirah.
Pertama, al-‘afwu berarti memaafkan, yaitu tidak membalas kesalahan orang lain dan menggugurkan hak untuk menuntut. Seseorang bisa saja memaafkan, namun tetap menyampaikan teguran agar tidak terulang kembali.
Kedua, ash-shafh adalah memaafkan dengan kelapangan hati tanpa celaan, tanpa menyindir, dan tanpa mengungkit kesalahan di masa lalu. Ini menunjukkan kemurnian niat dan ketulusan dalam pemaafan.
Ketiga, al-maghfirah adalah tingkatan tertinggi. Tidak hanya memaafkan dan melupakan, tetapi juga menutupi kesalahan orang lain, menjaga kehormatannya, dan tidak menyebarkan aib yang pernah dilakukan.
Tiga tingkatan ini memberi kita panduan dalam bersikap saat menghadapi kesalahan orang lain. Semakin tinggi tingkatan pemaafan yang kita latih, semakin dekat pula kita dengan sifat-sifat Allah yang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun.
Catatan berharga #02
Ibnu Qayyim menjelaskan, permintaan maaf itu ada tiga bentuk:
- Seseorang berkata, “Saya tidak melakukannya.”
- Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, tetapi karena alasan tertentu.”
- Seseorang berkata, “Saya memang melakukannya, saya keliru, saya sudah berhenti dan tidak akan mengulanginya.”
Yang ketiga inilah yang disebut taubat. Inilah bentuk permintaan maaf yang paling jujur dan sempurna.
Semoga Allah menjadikan kita hamba yang ringan memaafkan, luas dada dalam melupakan, dan mulia akhlak dalam menutupi aib saudara kita.
________
Ditulis pada Senin pagi, 15 Syawal 1446 H, 14 April 2025 di Darush Sholihin
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Sumber : https://rumaysho.com/39850-memaafkan-seperti-allah-dengan-tetap-melupakan.html