Konsep Wadiah: Pengertian, Hukum, dan Rukun dalam Perspektif Syariah – Rumaysho.Com

Wadiah dalam Islam merupakan konsep amanah yang wajib dijaga oleh yang diberi titipan. Artikel ini akan mengupas tuntas pengertian, hukum, dan rukun wadiah menurut pandangan ulama, terutama Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam kitab Matan Taqrib.

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata:

وَالوَدِيْعَةُ أَمَانَةٌ ، وَ يُسْتَحَبُّ قَبُوْلُهَا لِمَنْ قَامَ بِالأَمَانَةِ فِيْهَا وَلاَ يَضْمَنُ إِلاَّ بِالتَّعَدِّي وَقَوْلُ المُوْدَعِ مَقْبُوْلٌ فِي رَدِّهَا عَلَى الُموْدِعِ وَعَلَيْهِ أَنْ يَحْفَظَهَا فِي حِرْزٍ مِثْلِهَا وَإِذَا طُوْلِبَ بِهَا فَلَمْ يْخْرِجْهَا مَعَ القُدْرَةِ عَلَيْهَا حَتَّى تَلِفَتْ ضَمِنَ.

Wadi’ah itu amanah (tanggung jawab). Wadi’ah itu disunnahkan untuk diterima oleh orang yang bisa memegang amanah. Jika terjadi kerusakan, maka tidaklah ada ganti rugi (dhaman) kecuali bisa disengaja. Perkataan orang yang diberi wadi’ah diterima ketika ia mengembalikannya kepada orang yang memberikan wadi’ah. Hendaklah yang diberi wadi’ah menjaga barang wadi’ah sebagaimana ia menjaga barang semisal. Jika ia diminta mengembalikan barang titipan (wadi’ah) lantas ia tidak mengeluarkannya padahal dalam keadaan mampu kemudian barang tersebut rusak, maka hendaklah ia ganti rugi.

Catatan:

  • Wadiah secara etimologi berasal dari kata wada’a yang berarti meninggalkan, menitipkan, menyetorkan, menaruh, menyimpan. Sedangkan, wadiah bermakna titipan, deposito (Munawwir, 1997, pp. 1547-1548).
  • Wadi’ah secara bahasa berarti sesuatu yang dititipi pada orang lain untuk dijaga.
  • Wadiah secara istilah syari adalah akad yang berkonsekuensi untuk dijaga atau sesuatu yang mesti dijaga. (Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syujaa’, hlm. 281)

Pengertian yang lain dari wadiah adalah,

تَوْكِيْلٌ فِي حِفْظِ مَمْلُوْكٍ أَوْمُحْتَرَمٍ مَخْصُوْصٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ

“Mewakilkan penjagaan sesuatu yang dimiliki atau dimuliakan dengan cara yang khusus.” Yang dimaksud sesuatu yang dimiliki adalah yang sah dimiliki secara syari seperti benda yang suci dan boleh digunakan. Sesuatu yang dimuliakan adalah yang tidak boleh dimiliki secara syari, tetapi boleh memanfaatkannya seperti anjing yang pintar. Disebut dimuliakan karena tidak boleh dihancurkan (Al-Khin et al., 2009; Az-Zuhaili, 2015).

 

Hukum menerima wadiah

Hukum menerima wadiah untuk dijaga adalah SUNNAH (DIANJURKAN).

  • Jika ia tidak mampu menjaganya, maka diharamkan untuk menerima wadiah karena ia tahu akan merusaknya.
  • Jika ia adalah orang yang amanah, ia mampu untuk menjaganya dan tidak ada selainnya yang mampu untuk menjaganya, hendaklah ia menjaganya (hukum wajib).
  • Jika ia berada di negeri yang amanah dan mampu menjaganya, maka hendaklah menjaga barang wadiah, hukumnya adalah fardhu kifayah.
  • Jika ia mampu untuk menjaga barang wadiah, tetapi ia tidak yakin dengan amanahnya dirinya, maka dimakruhkan untuk menerima wadiah tersebut.

 

Rukun wadiah

  1. Wadiah, aset atau harta yang dititipkan.
  2. Muwdi’, orang yang menitipkan harta.
  3. Wadii’, orang yang dititipkan harta.
  4. Shighah, ada lafaz ijab dan qabul.

 

Syarat wadiah

  1. Yang dititipi adalah muhtaromah (dimuliakan), bukanlah barang yang diharamkan.
  2. Muwdi’ (yang menitipkan) dan wadii’ (yang dititipkan) adalah orang yang bisa bertransaksi (ithlaq tasharruf).

Catatan: Tidak boleh menitipkan mushaf pada orang kafir.

 

Shighah wadiah

  1. Ada lafaz di antara dua pihak.
  2. Tidak ada penolakan dari yang lain.

 

Hukum wadiah ada tiga

Pertama: Amanah

Kedua: Tertolak

Ketiga: Boleh

 

Catatan:

  • Aset yang ada di orang yang dititipkan harta (wadii’) adalah amanah. Wadii’ mesti menjaganya dengan penjagaan aset semisal. Jika barang tersebut rusak tanpa kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Namun, jika barang tersebut rusak karena kesalahan (ta’addi) dari wadii’, maka ada dhaman (ganti rugi). Bentuk ta’addi adalah semisal: (a) ia mengambil barang titipan (wadiah), lantas ia berikan kepada orang lain tanpa izin dari si pemilik barang (aset), (b) ia memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain padahal dalam penjagaan, (c) ia bersafar dengan barang titipan (wadiah) padahal ia mampu kembalikan kepada pemiliknya.
  • Jika pemilik barang titipan menyatakan bahwa ia belum mengambil barang titipan (wadiah), padahal yang dititipi menyatakan sudah menyerahkan barang titipan, maka perkataan yang diambil adalah perkataan orang yang dititipi asalkan ia mau bersumpah.
  • Di antara bentuk kesalahan dalam penjagaan barang titipan yang harus ada dhaman (ganti rugi) adalah mengakhirkan pengembalian wadiah (barang titipan) padahal mampu untuk dikembalikan.
  • Persaksian dalam pengembalian wadiah (barang titipan) pada pemiliknya tidaklah wajib.
  • Seandainya ada barang titipan, tetapi pemiliknya menghilang dalam waktu yang lama dan tidak ada kabar, sulit mengetahui keberadaan atau keberadaan ahli warisnya padahal sudah terus mencari, maka barang wadiah (titipan) diserahkan pada kaum muslimin. Jika pemilik wadiah datang kembali, maka barang tersebut dianggap ada dhaman (harus ada gantinya).
  • Pemilik barang boleh meminta barang titipannya kapan saja ia mau.
  • Seandainya ada yang menitipkan hewan lantas hewan itu dipakai dan diizinkan untuk dipakai, maka status wadiah menjadi batal karena menyelisihi dari hukum wadiah. Jika wadiah itu rusak sebelum dipakai, maka tidak ada dhaman (ganti rugi). Jika barang itu rusak setelah dipakai, maka ada ganti rugi, karena statusnya jadi ‘ariyah (barang pinjaman) yang rusak.

 

Hukum wadiah berakhir dengan:

  1. Pengembalian pada pemiliknya.
  2. Kematian, hilang ingatan salah satu dari dua pihak wadii’ dan muwdi’.

 

Dalil tentang wadiah

Dalil yang menjelaskan tentang wadiah adalah ayat-ayat yang membicarakan menjaga amanah.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An Nisa’: 58)

Begitu pula hadits yang membicarakan tentang wadiah adalah hadits tentang perintah menjaga amanah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أدِّ الأمانةَ إلى منِ ائتمنَكَ ، ولا تَخُنْ مَن خانَكَ

“Tunaikanlah amanah kepada orang yang menitipkan amanah padamu. Janganlah khianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Daud, no. 3535 dan Tirmidzi, no. 1624. Hadits ini hasan sahih)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tiga tanda munafik adalah jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan ketika diberi amanah, maka ia ingkar” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59).

Wadiah adalah amanah di tangan yang dititipi. Jika barang yang dititipi rusak bukan karena lalai, maka tidak ada dhaman(ganti rugi) (Asy-Syirazi, 1996, p. 3/382). Siapa yang tidak mampu menjaga barang titipan, haram baginya menerimanya. Siapa yang mampu dititipi, tetapi tidak yakin dengan sifat amanah dirinya, maka dimakruhkan. Jika ia yakin dengan sifat amanahnya, maka dianjurkan (disunnahkan) (An-Nawawi, 2005, p. 2/380). Wadiah ini diperintahkan untuk dijaga. Yang memiliki barang meminta agar barangnya dijaga dan jadi barang amanah. Sedangkan yang dititipi diperintah untuk menjaganya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ

“Kaum muslimin harus memenuhi persyaratan yang telah disepakati.” (HR. Bukhari tanpa sanad). Yang dititipi hendaklah menjaga barang titipan seperti menjaga barang lain di tempat yang aman, ia menjaganya seperti kebiasaannya. Ia hendaklah menjaga sendiri. Hendaklah barang tersebut tidak diserahkan kepada yang lain untuk menjaganya seperti kepada anak, istri, atau orang yang ia pekerjakan. Karena yang memiliki barang telah meridai jika ia menjaganya, bukan yang lainnya. Namun, jika yang menitipkan mengizinkan yang lain untuk menjaganya, maka hal itu boleh. Hukum menggunakan barang titipan oleh yang dititipi tidaklah dibolehkan. Seandainya tetap dipakai dan mengalami kerusakan, tetap ada ganti rugi karena ia menggunakan barang titipan tersebut tanpa izin dan hal ini termasuk melampaui batas sehingga sudah dianggap tidak amanah. Jika barang titipan diminta kembali oleh pemiliknya, maka wajib sebisa mungkin dikembalikan walau hanya sekadar diminta (Al-Khin et al., 2009, pp. 3/246-249; Az-Zuhaili, 2015, p. 3/649).

Baca juga: Hukum Islam tentang Isi Saldo di Dompet Digital (Gopay, OVO, DANA, dkk)

 

Referensi:

Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.

 

 

Diselesaikan 3 Jumadal Ula 1446 H, 5 November 2024

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com



Sumber : https://rumaysho.com/39257-konsep-wadiah-pengertian-hukum-dan-rukun-dalam-perspektif-syariah.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *